Faktaborneo.com – SAMARINDA — Dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim), yang diidentifikasi dengan inisial AG dan AF, tengah menjadi sorotan hangat di media sosial. Keduanya diduga melontarkan komentar yang mengandung unsur Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), yang dinilai dapat memicu perpecahan di masyarakat.
Menanggapi kontroversi tersebut, Herdiansyah Hamzah, Akademisi Hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul), angkat bicara. Ia menyoroti dugaan kegagalan dua wakil rakyat Kaltim itu dalam memahami etika dan hukum yang seharusnya melekat pada diri pejabat publik.
Menurut pria yang akrab disapa Castro ini, kegagalan tersebut terlihat dari mudahnya mereka mengucapkan kata-kata yang berpotensi menimbulkan konflik dan permusuhan, khususnya yang bermuatan SARA.
“Jadi, sederhananya ada semacam kegagalan anggota DPRD dalam memahami etika pejabat publik itu,” ujar Castro.
Ucapan Anggota Dewan Masuk Dua Ranah: Etika dan Hukum
Castro menjelaskan bahwa ungkapan yang disampaikan oleh anggota dewan tersebut menyentuh dua ranah penting: etika dan hukum.
Secara Etika, tindakan tersebut dinilai tidak pantas. Anggota DPRD, kata Castro, adalah cerminan dan role model bagi masyarakat. “Kalau kemudian anggota DPRD-nya terlalu mudah mengucapkan kata-kata yang bisa menimbulkan konflik misalnya, permusuhan dalam konteks SARA misalnya, ya maka itu patut dipertanyakan,” tegasnya.
Ia mengingatkan, etika pejabat publik melekat sejak mereka disumpah untuk menjaga ucapan, tindakan, dan perilaku, serta taat pada hukum.
Dari Sisi Hukum, Dosen Fakultas Hukum UNMUL ini menyebut ucapan bermuatan SARA di media sosial dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
“Masa mereka enggak baca misalnya Undang-Undang ITE kan? Di Pasal 28 ayat 2 itu kan cukup jelas,” sindir Castro.
Pasal tersebut mengatur bahwa siapapun yang mengucapkan atau mentransmisikan kata-kata yang menimbulkan permusuhan berdasarkan SARA dapat dijerat pidana dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun.
Sindiran “Bicara Dulu Baru Baca Aturan”
Castro menyayangkan kebiasaan buruk sebagian politikus yang cenderung berbicara dulu baru membaca aturan, yang ia nilai menjadi pangkal masalah. “Beda dengan kami di kampus, kami harus baca dulu baru bicara,” tuturnya.
Ia bahkan menyindir bahwa ia siap menyediakan kelas bagi para anggota dewan yang ingin belajar soal etika pejabat publik, agar mereka tidak mudah terpancing isu SARA yang sensitif.
Untuk penyelesaian masalah ini, Castro menawarkan dua jalur penyelesaian yang bisa ditempuh:
* Jalur Etika: Melalui proses di Badan Kehormatan (BK) DPRD.
* Jalur Hukum: Melalui laporan kepada pihak berwajib jika terbukti memenuhi unsur tindak pidana sesuai Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
“Nah, kalau kemudian mau dilaporkan ya silakan. Karena memang, saya kira itu sudah bermuatan SARA ya. Dan kemudian tinggal diperiksa dan dipastikan apakah memang unsur dalam ketentuan Pasal 28 ayat 2 itu terpenuhi,” pungkas Castro.
(Redaksi)











