Search
Close this search box.

Jumat, 20 September 2024

Sejarah 15 Agustus 1962 : Perjanjian New York dan Agenda Besar Amerika Serikat Dibalik “Pembebasan” Irian Barat

Delegasi Penandatangan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962. Kiri-kanan: Soebandrio, U Thant, van Rooijen, Ellsworth Bunker, dan Schurmann. (Google)

Klausa.co – 15 Agustus 1962, merupakan hari yang amat penting dalam sejarah Indonesia. Sebab di tanggal tersebut telah terjadi penandatanganan sebuah dokumen perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah naungan Pemerintah Amerika Serikat.

Perjanjian ini dilatarbelakangi oleh usaha Indonesia yang merebut daerah Papua bagian barat (Iran Barat) dari tangan Belanda. Penandatangan perjanjian ini diberlangsungkan di Kota New York. Sebab itulah, di kemudian hari disebut dengan Perjanjian New York atau New York Agreement.

Sejarah panjang ini dimulai pada awal kemerdekaan, tepatnya pada saat diberlakukannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag 2 November 1949. Mengenai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.

Kala itu Belanda berjanji, masalah Papua bagian barat akan diselesaikan dalam tempo satu tahun sejak KMB dilangsungkan. Namun sampai tahun 1961, permasalahan itu tak terselesaikan.

Hingga akhirnya, Amerika Serikat yang takut bila Uni Soviet makin kuat untuk ikut campur tangan dalam soal Papua bagian barat, lalu mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia.

Tercapainya mufakat dalam Perjanjian New York yang berisi penyerahan Irian Barat dari Belanda, melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).

Tanggal 1 Mei 1963, Papua bagian barat kembali ke Indonesia. Kedudukan Papua bagian barat menjadi lebih pasti, setelah diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Di mana rakyat Papua bagian barat, memilih tetap dalam lingkungan RI.

Konfrensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda Tahun 1949, merupakan salah satu dari rangkaian diplomasi penyerahan kedaulatan dan pengakuan atas Indonesia. (Google).

Agenda Besar Amerika Serikat

Perundingan yang dilakukan di Villa Huntland Middlleburg, Virginia, Amerika Serikat, sejak 23 Maret 1962 itu berlangsung alot dan memakan waktu. Bahasan utamanya adalah soal Papua bagian barat, yang kala itu masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda.

Dalam perundingan tersebut, Amerika Serikat menempatkan diri sebagai mediator meski sebenarnya Paman Sam juga punya agendanya sendiri yang tidak kalah besar.

Akhirnya, pada 15 Agustus 1962, tepat hari ini, 59 tahun yang lalu. Perjanjian New York resmi ditandatangani. Inilah pintu masuk AS ke tanah Papua. Yang dari sanalah “modal” Paman Sam akan bertahan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya.

Baca juga  Sejarah 3 Agustus 2000 : Ketika Soeharto  Resmi Berstatus Tersangka Kasus Korupsi

Mempersoalkan Irian Barat Pengakuan kedaulatan Indonesia merupakan tindak-lanjut KMB yang digelar di Den Haag pada 2 November 1949. Ada satu persoalan penting yang belum disepakati dalam forum itu yakni mengenai status Papua bagian barat.

Baik Indonesia maupun Belanda sama-sama ngotot merasa lebih berhak. Bagi Belanda, Papua bagian barat, atau yang mereka sebut dengan nama Netherlands New Guinea, bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia.

Salah satu argumentasi yang dipakai adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara tersendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda.

Indonesia tidak sepakat dan menghendaki agar seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. Lantaran tidak dicapai titik temu, KMB memutuskan bahwa masalah Papua bagian barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun ke depan (Amarulla Octavian, Militer dan Globalisasi, 2012:139).

Namun hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi. Sampai akhirnya, Amerika Serikat yang justru terkesan paling bernafsu membicarakan status kepemilikan Papua bagian barat mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk duduk di meja perundingan.

Amerika bahkan menawarkan diri sebagai penengah dan menyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut. Indonesia dan Belanda, atas desakan Amerika, akhirnya bertemu kembali di satu meja. Delegasi Indonesia dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunke, bertindak sebagai penengah.

Inti perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York ini adalah bahwa Belanda harus menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963 (Richard Chauvel, Constructing Papuan Nationalism, 2005:30).

Selama proses pengalihan, wilayah tersebut akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA.

Baca juga  Sejarah 20 Agustus 636 : Pertempuran Yarmuk Saksi Kehebatan Taktik Militer Khalid bin Walid Mengalahkan Bizantium
Perjanjian New York dilakukan dalam rangka memindahkan kekuasaan atas Irian Barat dari tangan Belanda ke Indonesia. (Google)

 

Amerika Mengincar Papua

Amerika punya alasan kuat untuk mencampuri status Irian Barat. Konteks Perang Dingin, misalnya, menjadi salah satu pertimbangan Amerika. Terlebih lagi, Soviet telah bermanuver untuk mendekatkan diri kepada Indonesia demi memperkuat hegemoninya.

Awal Januari 1960, misalnya, Presiden Nikita Khrushchev berkunjung ke Jakarta untuk memberikan kredit sebesar 250 juta dolar AS kepada Indonesia. Setahun berselang, giliran utusan Indonesia yang berkunjung ke Moskow dan mendapatkan pinjaman sebesar 450 juta dolar AS untuk membeli persenjataan dari Soviet (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2008:558).

Naiknya John F. Kennedy sebagai Presiden AS pada 1961 membuat persaingan dengan Soviet, khususnya untuk kawasan timur jauh, semakin memanas. Kennedy langsung bergerak dengan mengirim surat pribadi kepada Presiden Sukarno (R. Z. Leirissa, Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya, 1992:30).

Kennedy menegaskan, AS bersedia membantu Indonesia untuk mengatasi masalah Irian Barat. Kennedy bahkan sudah menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 18 juta dolar AS untuk mengalihkan kedekatan Sukarno dengan Uni Soviet (Mochtar Lubis, Catatan Subversif, 1980: 239).

Di sisi lain, AS menekan Belanda agar bersedia berembug dengan Indonesia untuk membicarakan status wilayah Papua bagian barat. Jika tidak, Kennedy mengancam akan menghentikan bantuan AS kepada Belanda.

Selain kepentingan politik yang diusung Kennedy, Amerika ternyata juga punya ambisi yang lebih menggiurkan dalam urusan ini, yakni terkait dugaan kandungan emas dan mineral berharga yang sangat besar di bumi Papua.

Baca juga  Sejarah 17 Agustus 1945 : Ketika Soekarno dan Hatta Memproklamasikan Kemerdekaan, Namun Kabarnya Terlambat Sampai di Kaltim
Berpuluh-puluh tahun Freeport menambang di Papua yang dikabarkan mengandung bijih tembaga dan emas berkadar tinggi. (Google)

Antara Papua dan NKRI

Setelah Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963, kebijakan pemerintah AS di bawah pimpinan Lyndon B. Johnson berubah, termasuk mengurangi bantuan kepada Indonesia yang disetujui Kennedy.

Dari pergantian rezim inilah, nantinya, Freeport perlahan-lahan masuk untuk menggerus kekayaan Papua seiring tumbangnya Sukarno yang kemudian digantikan Soeharto.

Dengan demikian, Amerika punya dua agenda besar untuk memuluskan kepentingannya di Irian Barat, meskipun dari dua presiden yang berbeda, seperti yang ditulis Beni Pakage dalam artikelnya “Kedudukan Orang Papua dalam Perjanjian New York” di Suara Papua, 14 Agustus 2016:

“Amerika telah turut bermain sebagai pihak pertama dalam kasus New York Agreement 15 Agustus 1962 untuk kepentingannya. Baik demi kepentingan melawan masuknya Indonesia dalam jaringan Soviet, maupun untuk penguasaan kekayaan alam Papua melalui Indonesia.”

Tanggal 1 Mei 1963, wilayah Papua bagian barat akhirnya resmi diserahkan kepada Indonesia dari Belanda melalui mediasi UNTEA, meskipun terdengar suara-suara yang mengecam lantaran tidak dilibatkannya orang-orang Papua dalam Perjanjian New York tersebut.

Tindak-lanjut penyerahan itu adalah dilaksanakannya Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua selama 6 pekan dari Juli hingga Agustus 1969 yang menghasilkan integrasi wilayah Irian Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pasca New York tahun 1962, Pepera atau penentuan pendapat rakyat dengan sistem satu orang satu suara muncul pada Juli hingga Agustus 1969. (Google)

Proses dan hasil PEPERA 1969 memang tidak sepenuhnya disepakati oleh seluruh pihak yang merasa berkepentingan karena ditengarai telah terjadi kecurangan (Human Rights Watch, Protes dan Hukuman Tahanan Politik di Papua, 2007:11).

Namun, inilah tahap awal peresmian Irian Barat menjadi bagian dari wilayah NKRI dengan nama Provinsi Irian Jaya pada saat itu. (Tim Redaksi Klausa)

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Print

Berita terupdate ada juga di Benuanta dan Prolog.co.id