Klausa.co – Mantan Presiden RI kedua Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup sedunia. Hal ini berdasarkan temuan Transparency International 2004, dengan total perkiraan dugaan korupsi yang dilakukannya sebesar 15-25 miliar dolar AS.
Salah satu kasus korupsi besar yang dilakukan Soeharto yakni penggunaan Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dana tersebut digunakan untuk membiayai di tujuh yayasan miliknya.
Pada 3 Agustus 2000. Mantan Presiden Soeharto resmi menjadi tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta.
Mengutip dari Wikipedia, Presiden RI kedua itu menjadi tersangka pada kasus dugaan korupsi menyangkut penggunaan uang negara oleh tujuh yayasan yang diketuainya.
Diantaranya Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995, yang mengimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Uang negara Rp400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden.
Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan.
Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa, dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto.
Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.
Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul.
Sebelumnya, Tommy, dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tetapi gagal. Soeharto juga dikenal sebagai Presiden yang paling korup di dunia. Mengalahkan Ferdinand Marcos, mantan Presiden Filipina dan Mobotu Sese Seko, mantan Presiden Zaire.
Estimasi jumlah nominal yang dikorupsi oleh Soeharto berkisar di $15 miliar sampai $35 miliar. Namun, hal ini akhirnya digugat oleh Presiden Soeharto dan Majalah Time kalah dan dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp1 Triliun. Meskipun akhirnya ganti rugi ini dibatalkan dalam putusan kasasi di Mahkamah Agung.
Surat Keputusan Penghentian Pengusutan
12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas perkara mantan Presiden Soeharto.
Isi dari SKP3 itu menyatakan untuk menghentikan penuntutan dugaan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya. Dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.
Kemudian Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi.
Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan, bahwa SKP3 atas nama terdakwa HM Soeharto pada tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut hukum. Dan menyatakan tuntutan terhadap Soeharto tersebut dapat dibuka dan dilanjutkan kembali.
Garis Waktu Kasus Dugaan Korupsi Soeharto
Keluarga Soeharto mesti membayar Rp4,4 triliun setelah Mahkamah Agung memperbaiki salah ketik putusan kasasi dalam kasus penyelewengan dana Yayasan Supersemar yang diketuai oleh Presiden Soeharto.
Berikut kronologi kasus dugaan korupsi Yayasan Supersemar yang digugat negara lewat Kejaksaan Agung, tak lama usai kejatuhan Soeharto:
1 September 1998
Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto. Indikasi penyimpangan terlihat dari anggaran dasar yayasan tersebut.
6 September 1998
Soeharto lewat Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mengumumkan bahwa dia tak memiliki kekayaan seperti yang disebut-sebut oleh berbagai media massa saat itu. “Saya tidak punya uang satu sen pun,” demikian kata Soeharto.
9 September 1998
Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden serta Menteri Pertahanan dan Keamanan untuk menjaga dan melindungi Soeharto ekstraketat dari hinaan, cercaan, dan hujatan yang ditujukan kepadanya.
11 September 1998
Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening Soeharto di luar negeri.
15 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto.
21 September 1998
Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto.
25 September 1998
Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa guna mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.
29 September 1998
Kejaksaan Agung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Antonius Sujata.
22 Oktober 1998
Jaksa Agung Andi M Ghalib menyatakan keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto terkait Yayasan Supersemar, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.
21 November 1998
Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen untuk mengusut harta Soeharto. Tapi usul ini kandas.
22 November 1998
Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, berisi pemberitahuan penyerahan tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.
2 Desember 1998
Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tentang Pengusutan Kekayaan Soeharto.
5 Desember 1998
Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.
7 Desember 1998
Di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan Soeharto: Dharmais, Dakab (Dana Abadai Karya Bhakti), Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora.
Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri senilai deposito Rp24 miliar, dengan Rp23 miliar tersimpan di rekening BCA, serta tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.
9 Desember 1998
Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung terkait dugaan penyalahgunaan dana di sejumlah yayasan, program Mobil Nasional, kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.
Pemeriksaan Soeharto selama empat jam dipimpin Jampidsus Antonius Sujata di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Pemeriksaan saat itu batal dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung dengan alasan keamanan.
12 Januari 1999
Tim 13 Kejaksaan Agung menyatakan menemukan indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.
4 Februari 1999
Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, putri sulung Soeharto, selaku Bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.
9 Februari 1999
Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.
11 Maret 1999
Soeharto, melalui kuasa hukumnya Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan korupsi kolusi nepotisme.
13 Maret 1999
Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.
16 Maret 1999
Koran The Independent, London, memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar).
26 Mei 1999
Jampidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto, dimutasi.
27 Mei 1999
Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejaksaan Agung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria).
28 Mei 1999
Soeharto mengulangi pernyataan bahwa dia tidak punya uang sesen pun.
30 Mei 1999
Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.
11 Juni 1999
Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa dia tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.
9 Juli 1999
Tiga kroni Soeharto –Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis– diperiksa Kejaksaan Agung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto.
19 Juli 1999
Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.
11 Oktober 1999
Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.
6 Desember 1999
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto. Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman, mencabut SP3 Soeharto.
29 Desember 1999
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan SP3 oleh Jaksa Agung.
14 Februari 2000
Kejaksaan Agung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tapi tidak hadir dengan alasan sakit.
16 Februari 2000
Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan Soeharto.
31 Maret 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.
3 April 2000
Tim Pemeriksa Kejaksaan Agung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru dua pertanyaan diajukan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.
13 April 2000
Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.
29 Mei 2000
Soeharto dikenakan tahanan rumah.
7 Juli 2000
Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.
14 Juli 2000
Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dan siap diberkas setelah Kejaksaan Agung meminta keterangan dari 140 saksi.
15 Juli 2000
Kejaksaan Agung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.
3 Agustus 2000
Soeharto resmi menjadi tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
8 Agustus 2000
Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
22 Agustus 2000
Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan, karena alasan keamanan.
23 Agustus 2000
PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.
31 Agustus 2000
Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto.
14 September 2000
Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.
23 September 2000
Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan.
28 September 2000
Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.
27 Maret 2008
PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung dan menghukum Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp46 miliar karena menyelewengkan pengelolaan dana pendidikan. Saat itu Soeharto telah wafat, sehingga tanggung jawab jatuh kepada keluarganya selaku ahli waris.
19 Februari 2009
Putusan PN Jakarta Selatan diperkuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum.
28 Oktober 2010
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta diperkuat lagi di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Harifin Tumpa menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara.
Namun putusan itu salah ketik, yang mestinya tertulis Rp185 miliar malah jadi Rp185 juta. Jumlah nol dalam ketikan tersebut kurang tiga. Kesalahan ketik ini membuat putusan tidak dapat dieksekusi. Keluarga Sooeharto tidak diperintahkan membayar ganti rugi kepada negara saat itu juga.
September 2013
Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali atas perkara Yayasan Supersemar. Serupa, Yayasan Supersemar pun mengajukan PK.
Juli 2015
Mahkamah Agung memutus mengabulkan PK Jaksa dan menolak PK Yayasan Supersemar sehingga keluarga Soeharto harus membayar ganti rugi Rp4,4 triliun kepada negara (berdasarkan kurs saat ini).
(Tim Redaksi Klausa)