Klausa.co – Tanggal 15 Agustus diperingati dengan Hari Perdamaian Aceh. Hari bersejarah bagi rakyat aceh yang tercipta pada 16 tahun silam. Di mana Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, akhirnya memilih bermufakat untuk damai.
Gerakan Aceh Merdeka atau disebut GAM, adalah gerakan separatisme bersenjata. Yang dibentuk dengan tujuan agar Aceh terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
GAM merupakan bentukan Hasan di Tiro, pada 4 Desember 1976. Organisasi ini dibentuknya, lantaran adanya perbedaan keinginan antara pemerintah RI dan GAM.
Adapun Konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia ini berlangsung sejak 1976 hingga 2005. Konflik yang berjalan selama 29 tahun tersebut, telah merenggut sekitar 15 ribu korban jiwa.
Hari Perdamaian Aceh juga dikenal dengan nama ‘Kesepakatan Helsinki’. Merujuk pada penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang berlangsung di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
Perjanjian damai ini dicetuskan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dari pihak Pemerintah Indonesia kala itu diwakili Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, sedangkan GAM mengutus Malik Mahmud Al Haytar.
Kesepakatan Helsinki merinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi. Terdapat 71 butir pasal dalam Kesepakatan Helsinki. Inti dari kesepakatan yang diteken ketika itu, diantaranya, GAM mencabut tuntutan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Sedangkan Pemerintah Indonesia memberi kebebasan kepada GAM untuk membentuk partai politik dalam rangka menjamin kehidupan berdemokrasi mereka. Indonesia juga sepakat untuk membebaskan tahanan GAM.
Berikut sebagian isi MoU-nya.
“Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara terhormat bagi semua pihak, dengan solusi yang damai, menyeluruh, dan berkelanjutan. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.”
“Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pascatsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi,” demikian isi sebagian MoU tersebut.
Dalam kesempatan itu, Menkumham Hamid mengatakan perdamaian ini merupakan sejarah baru. “Mari kita bangun bersama, jangan lagi ada perselisihan.”
Pun demikian yang disampaikan Ketua Delegasi GAM Malik Mahmud. “Perdamaian ini merupakan batu loncatan untuk seluruh warga Aceh menatap masa depan lebih baik. Memang naif jika tidak ada rintangan mewujudkannya. Tapi kami tahu, kita harus bekerja keras.”
Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari yang menjadi mediator kedua pihak mengatakan, “Ini merupakan awal baru bagi Aceh. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan ke depan untuk pembangunan bersama,” ujar dia, seperti dimuat BBC.
Penandatanganan perjanjian damai ini tak hanya disaksikan oleh perwakilan kedua kubu di Helsinki, tapi juga dilihat melalui siaran langsung dalam layar raksasa oleh puluhan ribu pasang mata penduduk Aceh.
Sejarah GAM dan Sosok Pendirinya
Motivasi yang paling mengemuka di balik Gerakan Aceh Merdeka ini adalah, adanya rasa kekecewaan terhadap sikap Pemerintah Indonesia yang sentralistis. Utamanya dalam persoalan porsi ekonomi, selain peninggalan masalah politik kesejahteraan Aceh.
4 Desember 1976, Tengku Hasan di Tiro, memprakarsai terbentuknya GAM. Pengikutnya kemudian mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan tersebut dilangsungkan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie.
Diawal masa berdirinya GAM, nama resmi yang digunakan adalah Aceh Merdeka (AM). Dilansir dari Wikipedia, Hasan Tiro telah memprakarsai gerakan ini dengan jalan diplomasi dan militer yang panjang.
Pada akhirnya, akibat Hasan Tiro yang menggalang ide kemerdekaan tersebut, dijawab secara militer oleh Presiden Suharto. Sempat lari ke hutan-hutan, Hasan Tiro lalu memilih melarikan diri ke luar negeri, dan bermuara kepada permintaan suaka politik ke Swedia pada tahun 1979.
Saat berada di Swedia, pria kelahiran 25 September 1925 ini berpikir bahwa Ia akan melanjutkan gagasan kemerdekaannya. Membawa rakyat Aceh dan kali itu dengan tekanan pada perjuangan diplomatik.
Meskipun demikian, pada tahun 1989, bekas pengusaha ini menghidupkan kembali perlawanan militer. GAM yang didukung oleh Libya dan Iran mengirimkan seribu pemuda Aceh untuk berlatih kemiliteran.
Pemuda yang dididik militer di Libya ini kemudian tampil sebagai Tentara Neugara Aceh. Atau disebut dengan TNA. Pelatihan yang diberi dari luar negeri ini sangat berarti, bahwa tentara GAM sudah jauh lebih tertata dan terlatih dengan baik.
Melalui ancaman terbaru ini, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer Khusus (DOM). Desa-desa yang diduga menampung para anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka diculik dan disiksa. Diyakini terdapat 7.000 pelanggaran hak asasi manusia terjadi selama DOM berlangsung.
Perlawanan Terbuka
Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 menyulut kembali ide kemerdekaan yang masih bersemayam di masyarakat Aceh. Semula gerakan tersebut masih tertutup, namun lama kelamaan semakin terbuka.
Semasa kepemimpinan Habibie yang menarik pasukan dari Aceh. Memberi ruang bagi GAM dalam membangun kembali organisasinya. Akibatnya pada tahun 1999, kekerasan justru semakin meningkat.
GAM memberontak terhadap pejabat pemerintah dan penduduk Jawa yang didukung oleh penyelundupan senjata besar-besaran dari Thailand oleh GAM. Media-media di Indonesia pada saat itu bahkan secara mudah dapat melaporkan aktivitas militer GAM, tanpa khawatir ditekan oleh pihak militer.
Selain itu, adanya keberhasilan kemerdekaan Timor-Timur dari Indonesia tahun 1999 juga memunculkan tuntutan referendum di seluruh wilayah Aceh. Tuntutan tersebut memang masih tetap ditolak, namun secara perlahan tetapi pasti, sosok Hasan Tiro masih terus memprakarsainya.
Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pertemuan informal di antara kedua pihak masih menemui kegagalan. Kemudian, memasuki tahun 2002, Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya di pengasingan melakukan konsolidasi. Mereka membentuk kembali struktur pemerintahan GAM, dan Hasan tetap menjadi pemimpin tertinggi.
Kekuatan militer dan polisi di Aceh juga berkembang menjadi kurang lebih sebanyak 30.000. Setahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi 50.000. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh GAM mengakibatkan beberapa ribu kematian warga sipil.
Selanjutnya berganti dengan kepemimpinan Megawati, upaya tersebut juga mengalami jalan buntu. Di masa Megawati ini pula, pemerintah menempuh operasi militer terbatas, sebelum status ini dicabut setahun kemudian. Dalam masa ini sejumlah juru runding GAM ditangkap.
Damai Karena Gempa dan Tsunami di Aceh
Adanya konflik berkepanjangan antara GAM dan Pemerintah Indonesia mulai mengalami perubahan setelah adanya bencana alam tsunami yang telah banyak menimbulkan korban jiwa. Rupanya, bencana alam yang terjadi pada 26 Desember 2004 ini mampu melunakkan kedua belah pihak, tidak terkecuali Hasan Tiro.
Gencatan senjata pun dilakukan, dan kedua belah pihak akhirnya mau kembali ke meja perundingan. Kontak dengan Hasan Tiro pun dilakukan oleh Jakarta, yang ternyata tidak mudah. Melalui perundingan maraton yang melibatkan Wakil Presiden Yusuf Kalla dan pimpinan pusat GAM.
Tepatnya pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Pada 17 Juli 2005, setelah berunding selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantta, Finlandia.
Penandatanganan kesepakatan damai kemudian dilangsungkan di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Poin penting dalam kesepakatan tersebut yaitu Pemerintah Indonesia akan memfasilitasi pembentukan partai lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Proses perdamaian ini dipantau oleh tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN. Empat bulan dari peristiwa tersebut, Tentara Neugara Aceh resmi dibubarkan, dan kemudian dibentuk komite peralihan untuk membubarkan mantan tentara dengan warga sipil.
Semua senjata GAM yang berjumlah 840 diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005. Kemudian, pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Dawood, menyatakan bahwa sayap militer Tentara Neugara Aceh telah dibubarkan secara formal.
Perubahan politik di atas, kemudian berlanjut dengan digelarnya pemilihan kepala daerah di Aceh. Membuat Hasan Tiro kembali ke tanah kelahirannya pada 17 Oktober 2008, tiga tahun setelah perjanjian damai itu.
Warga Aceh berbondong-bondong menyambutnya di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda hingga di Pusat Kota Banda Aceh. Sejak saat itulah, Hasan Tiro kembali menetap di Aceh, setelah lebih dari 30 tahun menyandang status sebagai pelarian politik.
Pada 2 Juni 2010, dalam keadaan sakit dan dirawat di salah satu rumah sakit di Banda Aceh, Hasan Di Tiro kembali memperoleh status kewarganegaraannnya setelah Pemerintah Indonesia memulihkan status kewarganegaraannya.
(Tim Redaksi Klausa)