Search
Close this search box.

Jumat, 20 September 2024

Wartawan Samarinda itu Bernama Hamidhan, Saksi Mata Proklamasi yang Menolak Jabatan Gubernur Kalimantan

Sosok Anang Abdul Hamidhan yang dikenalkan melalui komik Pahlawan Indonesia berjudul : Perjuangan Pers Tiga Zaman. Diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Perumusan Naskah Proklamasi. (Google)

Klausa.co – Sosok pria ini lebih dikenal sebagai pejuang pers di era perjuangan kemerdekaan. Namanya Anang Abdul Hamidhan. Asli Urang Banjar (Suku Banjar) kelahiran Rantau, Tapin, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1909.

Merantau ke Kota Samarinda ketika usianya masih belia untuk menempuh pendidikan tingkat dasar. Hamidhan remaja, memutuskan untuk mengabdi pada negeri melalui profesi wartawan.

Hamidhan dewasa kemudian dikenal sebagai satu-satunya orang Kalimantan, yang terlibat langsung didalam rapat perumusan naskah Proklamasi di kediaman Laksamana Maeda.

Dia pulalah satu-satunya orang Kalimantan yang hadir ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan oleh Sukarno-Hatta di Jakarta.

Selain sebagai saksi mata peristiwa mahapenting dalam sejarah Indonesia. Hamidhan juga mengukirkan namanya sebagai Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Mantan Pimpinan Redaksi Koran Perasaan Kita yang pernah berdiri di Samarinda ini, begitu dikenal karena sempat membuat Wakil Presiden Mohammad Hatta bertanya-tanya.

Sebab hanya dia satu-satunya orang, yang menolak ketika diberikan jabatan sebagai Gubernur. Dengan alasan ingin tetap berkiprah di bidang yang selama ini digelutinya. Ya, sebagai Wartawan.

Berkat keahliannya sebagai pewarta, rakyat Kalimantan bisa mendapatkan kabar kemerdekaan Indonesia yang terhambat sampai ke telinga.

Namun sayang, segala capaian dibalik perjuangannya itu tak begitu banyak lagi diketahui generasi melenial di Kalimantan Timur. Khususnya di Kota Samarinda.

Kendati demikian namanya begitu harum dan sangat dikenang ditanah kelahirannya di Kalimantan Selatan.

Sosoknya begitu spesial bagi Kalimantan Timur karena pernah bersekolah tingkat dasar dan merintis karier wartawan kali pertamanya di Samarinda.

Sebuah Kota di tepian Sungai Mahakam yang dahulu dikenal sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda di (Oost Borneo) Borneo Timur.

*) Memperingati HUT Kemerdekaan RI ke 76 di tahun ini, Klausa.co mengulas sejarah hidup hingga peranan penting Anang Abdul Hamidhan didalam perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kisahnya ini berhasil dirangkum melalui buku Sejarah H. Anang Abdul Hamidhan “Pejuang Pers Tiga Zaman” yang diterbitkan Museum Naskah Perumusan Proklamasi dan Wikipedia.

Perjuangan Besar dari Kota Tepian

Sosok Anang Abdul Hamidhan Wartawan Samarinda Saksi Proklamasi Kemerdekaan. (Google)

 

Usia Hamidhan sudah belasan tahun ketika merantau dari tanah kelahirannya di Rantau, Tapin, ke Samarinda. Tujuan hijrah, agar dapat bersekolah di Europeese Lagere School (ELS) di Kota Tepian Sungai Mahakam.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di tingkat dasar, sejarah mencatat, Hamidhan melanjutkan pendidikannya ke Gemoontelijke MULO Avondshool di Batavia Genrum di Jakarta.

Sebuah keberuntungan bagi Hamidhan, yang dapat bersekolah karena politik etis Belanda. Di mana kala itu Belanda membolehkan bagi mereka yang bukan ningrat untuk melanjutkan pendidikan.

Baca juga  Sejarah 15 Agustus 1962 : Perjanjian New York dan Agenda Besar Amerika Serikat Dibalik "Pembebasan" Irian Barat

Padahal saat itu jarang sekali putra Kalimantan yang bukan keturunan ningrat, dapat memasuki dunia pendidikan Eropa. Dengan kesadaran itulah Hamidhan sangat menekuni pendidikannya di sana.

Hampir satu abad yang lalu, tepatnya tahun 1923, di Samarinda telah terbit sebuah koran mingguan bernama Perasaan Kita. Memasuki tahun keempat penerbitannya, Hamidhan tumbuh menjadi remaja 18 tahun yang berbakat dalam bidang tulis-menulis.

Saat itulah Hamidhan memutuskan untuk bekerja sebagai wartawan di surat kabar milik Anang Acil Kasuma Wira Negara. Tak lama kemudian Koran Perasaan Kita itu berganti nama menjadi Bendahara Borneo.

Tahun 1929, pemuda Urang Banjar ini menjadi pemimpin redaksi di Bendahara Borneo. Namun ketika berusia 21 tahun, Hamidhan memilih untuk pindah ke Banjarmasin.

Dipenjara Tiga Kali Oleh Belanda

 

Potongan Koran Borneo Simboen mengabarkan kemerdekaan Indonesia. (Google)

Di Banjarmasin Hamidhan terus melanjutkan kariernya sebagai Wartawan. Atas keberhasilannya inilah dia kembali tercatat menjabat sebagai pimpinan redaksi di Koran Soeara Kalimantan 1930-an, Kalimantan Raya 1942 dan Borneo Shimbun 1945.

Soeara Kalimantan merupakan surat kabar pribumi pertama yang didirikan Hamidhan di Banjarmasin. Sebagai wartawan, Hamidhan menggunakan media massa untuk menyuarakan perjuangan pribumi menentang kolonialisme.

Akibat terlibat dalam dunia jurnalis, Hamidhan pernah merasakan tiga kali dikenakam persdelict (delik pers) dan kemudian dijebloskan ke penjara sebanyak tiga kali oleh Belanda.

Hamidhan didakwa dan divonis melanggar delik pers diantaranya, Tahun 1930 ia dipenjara 2 bulan di Cipinang. Tahun 1932 ia meringkuk 1,5 bulan di penjara Banjarmasin. Tahun 1936 ia dikurung lagi setengah tahun di Banjarmasin.

Pada tanggal 13 April 1938, Hamidhan mengikuti konferensi wartawan di Bandung, Jawa Barat. Dia juga menuliskan sebuah artikel, tentang media yang harus menghadapi suatu persdelict.

“Dimasa itu, boleh dikata suatu surat kabar tanpa merasakan persdelict, bagaikan sayur tanpa garam, hambar,” ungkapnya di artikel tersebut.

Selain itu, langkah Anang Abdul Hamidhan yang memulai mendirikan surat kabar pribumi di Kalimantan, memberikan pengaruh cukup besar.

Dengan muncul koran ataupun majalah yang terbit di Borneo Selatan. Terhitung ada 14 koran dan majalah yang muncul dalam kurun waktu 1930 hingga 1942.

Saksi Mata Proklamasi

 

Anang Abdul Hamidhan bersama staf Soeara Kalimantan. (Google)

Berkat rekam jejaknya sebagai jurnalis anti-Belanda, Hamidhan dipilih sebagai perwakilan Kalimantan dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk 7 Agustus 1945.

Sebelum pergi ke Jakarta, guna menyerap aspirasi warga, Hamidhan sempat mengadakan rapat bersama tokoh-tokoh dari Banjarmasin dan Kandangan.

Tiba di Jakarta, Hamidhan langsung bergabung ikut aktif di detik-detik kemerdekaan. Tepatnya, 16 Agustus 1945 malam, ia turut hadir ketika naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dirumuskan di rumah Laksamana Maeda.

Baca juga  Sejarah 17 Agustus 1945 : Ketika Soekarno dan Hatta Memproklamasikan Kemerdekaan, Namun Kabarnya Terlambat Sampai di Kaltim

Pembahasan ini berlangsung sampai kalender berubah ke tanggal 17. Pukul 4 dinihari, naskah Proklamasi baru selesai diketik. Hamidhan dan peserta lain menyempatkan sahur dari ruang makan yang disediakan Maeda. Waktu itu memang bertepatan bulan Ramadan.

Usai sahur, Hamidhan dan yang lainnya kembali ke ruang rapat. Bung Karno mengusulkan agar naskah proklamasi ditandatangi oleh seluruh hadirin. Andai usulan ini dilaksanakan, dapat dipastikan pada naskah Proklamasi tertera juga ada nama dan tanda tangan Anang Abdul Hamidhan.

Namun, para anggota PPKI dan pemuda militan mencukupkan dengan hanya nama dan tanda tangan Sukarno-Hatta pada naskah Proklamasi. Kedua tokoh ini bertindak sebagai proklamator atas nama bangsa Indonesia.

Keesokan harinya, atau tepatnya Jumat 17 Agustus 1945, pukul 10 pagi di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Terjadilah peristiwa monumental itu.

Hamidhan turut hadir dan menyaksikan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta. Ia menjadi satu-satunya orang Kalimantan yang menyaksikan secara langsung kemerdekaan Indonesia.

Menolak Jabatan Gubernur Kalimantan

Rapat PPKI pada 18 Agustus 1945 yang salah satu hasilnya adalah menetapkan UUD 1945 serta memilih presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. (Google)

 

Dalam catatan sejarah, Pangeran Muhammad Noor atau PM Noor tercatat sebagai Gubernur pertama Kalimantan. Diangkatnya PM Noor sebagai gubernur Kalimantan ini tidak terlepas dari penolakan Anang Abdul Hamidhan.

Cerita ini berawal ketika kemerdekaan diproklamasikan, namun Indonesia masih belum memiliki dasar negara. Undang-undang Dasar 1945 atau UUD 1945 baru ditetapkan melalui sidang PPKI yang diselenggarakan selang sehari pasca Proklamasi.

Tepatnya 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan rapat pertamanya. Tujuannya untuk membahas, mengambil keputusan dan mengesahkan UUD 1945. Rapat perdana ini diadakan di Pejambon yang kini dikenal sebagai Gedung Pancasila.

Agenda ini berperan untuk melanjutkan hasil kerja BPUPKI guna meresmikan pembukaan dan batang tubuh konstitusi. Sidang ini dipimpin langsung oleh Soekarno dan Hatta. Sementara anggota yang terlibat didalamnya berjumlah 21 orang.

Anggotanya terdiri dari 12 wakil dari Jawa, tiga dari Sumatera, dua dari Sulawesi. Kemudian satu dari Kalimantan yang diwakili Hamidhan. Lalu masing-masing satu diantaranya dari Nusa Tenggara, Maluku, dan satu perwakilan dari etnis Tionghoa.

Dalam rapat itu juga diusulkan bahwa Presiden RI dijabat oleh Soekarno. Sedangkan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Usulan itu diterima dengan suara bulat. Peserta sidang pun lantas berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Di akhir rapat, Presiden Soekarno menunjuk 9 orang sebagai anggota Panitia Kecil yang ditugasi untuk menyusun rancangan yang berisi hal-hal yang sifatnya mendesak yaitu pembagian negara, kepolisian, tentara kebangsaan, dan perekonomian.

Baca juga  Pesisir dan Lembah Jadi Potensi Samboja Barat

Sidang ini terjadi hingga 19 Agustus 1945 dini hari. Para perwakilan daerah itu diminta untuk menjadi gubernur di daerahnya masing-masing. Namun Hamidhan menolaknya. Padahal, anggota PPKI dari luar Jawa semuanya bersedia diangkat menjadi gubernur.

Sebut saja Teuku Muhammad Hasan memimpin Sumatera, I Gusti Ketut Pudja memimpin Sunda Kecil, J Latuharhary memimpin Maluku, serta GSSJ Ratulangi menjadi gubernur Sulawesi.

Selain mereka, ada Sutardjo Kartohadikusomo memimpin Jawa Barat, Raden Pandji Soeroso memimpin Jawa Tengah, dan Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo menjadi gubernur Jawa Timur.

Penolakan Hamidhan menjadi gubernur Kalimantan ini tentu membuat heran mereka yang hadir di dalam pertemuan itu.

Wakil Presiden Mohammad Hatta bahkan sempat mempertanyakan hal itu. Namun dengan tegas Hamidhan menjawab, dia ingin tetap berkiprah di bidang yang selama ini dia geluti, yakni menjadi wartawan.

Meski heran dengan penolakan Hamidhan itu, Otto Iskandar Dinata yang memimpin pertemuan, kemudian bertanya kepada Hamidhan tentang siapa yang akan dia usulkannya menjadi gubernur Kalimantan.

Lantas, Hamidhan mengusulkan Pangeran Muhammad Noor yang waktu itu tinggal di Bandung sebagai pegawai tinggi Departemen Pekerjaan Umum untuk menduduki jabatan tersebut.

Hamidhan pun yakin usulannya akan diterima seluruh rakyat Kalimantan. Presiden Soekarno meneriman usulan Hamidhan. Lantas, kedelapan gubernur itu diangkat pada 5 September 1945.

Kabarkan Kemerdekaan

Anang Abdul Hamidhan dan istrinya, Siti Aisyah. (Wikipedia)

 

Setelah ikut terlibat diberbagai rangkaian penting itu, Hamidhan segeranya kembali ke Kalimantan Selatan. Ia datang membawa kabar tentang kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan pesawat Jepang.

Selanjutnya, Borneo Shimbun yang ada di Banjarmasin dan Kandangan juga ikut menyiarkan berita proklamasi tersebut.  Termasuk menyiarkan UUD 1945, serta pengangkatan Pangeran Muhammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan.

Pada tanggal 30 Oktober 1945, Hamidhan bertemu dengan Hasan Basry. Kala itu Hasan Basry meminta agar Hamidhan menyebarkan pamflet tentang kemerdekaan Indonesia di Amuntai.

Sementara itu, Hasan Basry juga membuat perjuangan untuk mengumpulkan kekuatan di Kalimantan Selatan.

Dikemudian hari Hamidhan juga dipercaya sebagai pemimpin dari Kalimantan untuk mendirikan PNI, BKR, dan KNIP daerah Kalimantan.

Adapun Hamidhan, melanjutkan kariernya di bidang pers sampai tahun 1961. Satu dari pendiri Republik ini dikabarkan tutup usia pada 21 Agustus 1997. Jenazah pejuang pers tersebut dimakamkan di Pemakaman Muslimin Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

Pemerintah RI menganugerahi Bintang Mahaputra Pratama kepada Hamidhan dan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Namanya terpampang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalam Imam Bonjol 1 Jakarta. Daftar nomor 23: Anang Abdoel Hamidhan.

(Tim Redaksi Klausa)

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Print

Berita terupdate ada juga di Benuanta dan Prolog.co.id